Langsung ke konten utama

Berpasrah 🤍

Sudah lama ya, tak terasa, kata-kata menguap begitu saja bagai kepul asap rokokmu. Dan selama itu pula keresahan terlewati, yang hilang terganti, yang sakit terobati, yang diinginkan telah di genggam tangan.

Sepanjang hari tanpa hitungan detik, mengabaikan menit yang terus mengejar waktu, doa-doa terkumpul seperti buku yang tak terhitung lagi lembarannya. Setiap lembaran berisi kesemogaan, dimana air mata seakan tak pernah habis menulis kesedihan. 

Pada saat yang baik, lelah mereda. Doa-doa melangit, hujan turunkan jawabnya. Memang ya, segalanya pasti akan terlewati, dan sebagian harus sudah disudahi. Diatas rencana-rencana hidup, ada hal yang tak boleh diabaikan. Bahwa takdir-Nya diluar matematika kita. Takdir terbebas dari angka-angka dan hitungan manusia. Namun dengan doa akan melampaui takdirnya. Percayalah doa mu akan didengar dan akan bekerja tepat pada waktu-Nya.

Terimakasih kepada Sang Pencipta Semesta. Begitu baik Ia padaku, padamu, pada kita semua. Yang Maha Baik memang tak terkira kuasa-Nya. Sampai syukur tak memiliki rupa, ia hanya terus menggebu dalam degup dada. Yang Maha Kaya begitu luas tak terbatas rahasia-Nya. 

Ternyata begini maksud-Nya...
Begitulah kira-kira kalimat yang terucap setelah panjat syukur pada-Nya. Seringkali yang kutulis adalah rencana Tuhan itu misteri, dan siapa bisa menyangka? Tidak ada. Ia selalu memberi kejutan.

Dan satu lagi, cara doa bekerja tidak pernah membuat kecewa.

Untuk semua yang sedang berhadapan dengan hal "menyerah", barangkali yang kutulis ini tidak semudah realita, tapi aku tidak lelah meminta untuk selalu percaya. Ya, percaya. Pada semua rasa hatimu, cintamu, dan yang utama adalah ketulusan yang kau ucap ketika merayu Rabb-mu.

Percayalah. Semua akan lewat.
Percayalah. Semua akan berakhir hebat 🤍

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memeluk Waktu

Hidup ini perjalanan yang menyimpan banyak rahasia. Kita pikir kita tahu, kita pikir kita ngerti, tapi sebenarnya kita ngga ngerti apa-apa kan? Besok bakal gimana, nanti bakal gimana, jalan ini akan lurus atau berbelok. Kita baru tahu saat sudah melalui. Saat udah lewat. Tapi satu hal yang pasti, dalam perjalanan itu kita semua akan bertemu dengan banyak orang. Sebagian cuma selewat, sebagian sempat singgah sesaat, sebagian tinggal, sisanya pergi ngga pernah kelihatan lagi. Biarpun begitu, setiap pertemuan, hubungan, dan bahkan perpisahan itu ada alasannya. Semuanya ada maknanya. Dan yang pasti kita semua tuh punya fungsi untuk satu sama lain.  Sekarang saatnya. Setelah cukup lama memberi jeda, aku ingin kembali pada diriku yang dulu. Ternyata untuk memulai kembali tidak semudah itu. Tidak apa. Aku akan tetap mencoba. Mulanya aku tidak tahu akan menulis tentang apa. Kata-kata begitu cepat menguap dan hilang begitu saja. Dan aku berpikir lagi, cukup lama. Lalu, ada yang terlintas.  Pada

Hidup Layaknya Bianglala

Sewaktu kecil kita gemar naik bianglala, yang berputar, melingkar, yang mendebarkan, yang membikin hati berdesir-desir. Lama setelahnya, kita pun sadar. Bahwa hidup seperti bianglala, terus berputar, tak mau diam. Suatu waktu kita berada di bawah. Merangkak naik,  mencapai tujuan sampai ke atas. Bukankah itu yang semua orang inginkan?  P erjalanan hidup lancar, segala harapan menjadi kenyataan. Tapi, kita kerap lupa, gerak bianglala bukan semaunya. Melainkan diatur sebagaimana baiknya. Ia memiliki kendali. Ya, seperti itulah kita hidup. Yang terjadi, yang dimiliki, sebab dan akibat, semua bermula dari DIRI SENDIRI. Kita yang mengendalikannya. Bukan siapa siapa, hanya DIRI SENDIRI. Bianglala dalam hidupmu jangan sampai berhenti berputar. Bukankah kita pernah berada di titik terendahnya? Mengeluh, ingin berhenti saja, sakit, kecewa, rasa yang tak semua orang inginkan, seakan membuat kita tak layak mendapatkan kebahagiaan. Tapi, kita keliru. Bianglala ini harus berputar sampai pa

Bertahanlah

Tanpa harus mengutip dari siapapun, semuanya juga paham bahwa air mata menyimpan entah berapa banyak cerita dan rahasia. Setiap tetes membungkus peristiwa-peristiwa dan penyesalan yang menyertai.  Yang membasahi pipiku sekarang bukan menandai penyesalan, duka, atau kehilangan. Sesal, duka, dan rindu, meski sulit, bisa sembuh dengan berlalunya waktu. Dalam getir, setiap tetes tangis ini meratapi satu hal yang kebal bahkan dari waktu. Hati seorang perempuan berusia 27 tahun yang menantang kemustahilan dan berharap ada mujizat yang menghampirinya.  Namun begitulah dinamika hidup, kita akan dipertemukan dengan sesuatu yang jauh dari keinginan.  Bahwa hidup tak selalu melulu tentang senang, tak juga sekedar sedih. Ada batas yang memisahkan keduanya. Ada sebuah jeda yang bisa kita sebut sebagai stagnasi. Ketika sudah jengah pada harapan, ketika sudah dirasa payah bertahan. Jangan buru-buru memutuskan untuk berhenti. Kita hanya perlu menepi. Memberi ruang pada dirisendiri. Ingat ini hanya fas